Pancasila Perajut Bingkai Integrasi Nasional

By Admin


nusakini.com - Jakarta, wapresri.go.id - Sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia dalam perjalanannya banyak pihak yang berupaya mempertentangkan antara Pancasila dengan ajaran agama. Namun upaya itu tak akan berhasil karena Pancasila mengandung nilai-nilai yang kuat untuk menjaga kerukunan bermasyarakat dan kehidupan umat beragama. 

“Selama ini Pancasila sudah terbukti mampu menjaga kerukunan seluruh bangsa, sehingga tercipta integrasi nasional,” ujar Wakil Presiden (Wapres) K. H. Ma’ruf Amin pada acara Simposium Nasional dengan tema “Studi dan Relasi Lintas Agama Berparadigma Pancasila (SIGMA Pancasila) melalui konferensi video di kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta Pusat, Kamis (10/09/2020).

Meski demikian, jelas Wapres, perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, termasuk dalam berkomunikasi atau berinteraksi dengan masyarakat dunia, tidak menutup kemungkinan muncul pemahaman dan sikap keagamaan yang bisa mengancam kerukunan dan integrasi bangsa. Untuk itu kita harus mampu menangkal berkembangnya paham-paham yang mengancam Pancasila dan persatuan nasional. Padahal persatuan nasional merupakan pra-syarat bagi terwujudnya stabilitas nasional, sementara stabilitas nasional merupakan pra-syarat bagi kelancaran dan keberhasilan pembangunan nasional. 

“Untuk mewujudkan integrasi nasional ini diperlukan kehidupan yang rukun dan harmonis antar umat beragama, baik dalam konteks kehidupan sosial maupun kehidupan politik. Upaya-upaya itu perlu terus-menerus dilakukan, terutama melalui empat bingkai kerukunan,” paparnya. 

Lebih lanjut Wapres memaparkan 4 bingkai dalam upaya untuk kehidupan yang rukun dan harmonis antar umat beragama.

“Pertama adalah bingkai politis (politik kebangsaan), yakni penguatan kerukunan dan pencegahan konflik melalui penguatan wawasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara meliputi tiga konsensus, yakni (1) NKRI dengan semboyan “bhinneka tunggal ika”, (2) Pancasila sebagai dasar negara, dan (3) UUD 1945 sebagai konstitusi negara,” terangnya. 

Tiga konsensus ini, kata Wapres seharusnya menjadi acuan serta wawasan/orientasi bangsa Indonesia, baik secara pribadi maupun kelompok, organisasi-organisasi politik dan kemasyarakatan, terutama aparatur negara dalam mengambil kebijakan.

Yang Kedua, kata Wapres, adalah bingkai teologis, yakni penguatan kerukunan dan pencegahan konflik melalui pengembangan ²teologi kerukunan², sebagai acuan dalam hubungan antar-umat beragama, antar-warga negara, dan antar-manusia secara keseluruhan. Teologi kerukunan ini juga mengandung arti pemahaman keagamaan yang tidak mengarah pada konflik dan kekerasan yang bisa disebut sebagai “teologi konflik”. 

“Semua agama yang ada di Indonesia mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia serta saling menghormati di antara sesama manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Hindu mengajarkan tatwam asi (tepo seliro), Kristen mengajarkan cinta kasih, Konghucu mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamîn). Khusus untuk Islam, hubungan antar-kelompok agama juga didasarkan pada konsep mu’âhadah atau muwâtsaqah, yang berarti adanya perjanjian antar kelompok-kelompok masyarakat untuk membangun kehidupan yang damai dan rukun,” urai Wapres mencontohkan.

Wapres menambahkan bahwa untuk penguatan teologi kerukunan tersebut, agama semestinya tidak dijadikan sebagai faktor pemecah belah (disintegratif), tetapi menjadi faktor pemersatu (integratif) dalam kehidupan masyarakat. 

“Dan sejalan dengan hal ini, agama semestinya tidak dipahami secara eksklusif dan ekstrim, melainkan dipahami dengan memperhatikan pula konteks dan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang majemuk (multi-kultural, multi-agama dan multi-etnis),” imbuhnya.

Lalu yang ketiga, papar Wapres adalah bingkai sosiologis (sosio-kultural), yakni penguatan kerukunan dan pencegahan konflik melalui penguatan budaya kearifan lokal. Hal ini sangat memungkinkan karena setiap daerah atau suku memiliki nilai-nilai budaya, yang dianggap sebagai kearifan lokal (local wisdom). 

“Misalnya, di masyarakat Batak dikenal dalihan na tolu yang berfungsi merekatkan masyarakat walaupun berbeda agama dan etnis. Di masyarakat Jawa dikenal gotong royong dan tepo seliro sebagai sikap menjaga hubungan baik dalam segala bidang dan aspek kehidupan bermasyarakat. Di masyarakat Dayak terdapat rumah betang, yaitu rumah panjang yang dihuni berbagai anggota keluarga tetap hidup damai dilandasi kasih sayang, dan rasa persaudaraan. Sedangkan di masyarakat Bugis dikenal sipakalebbi dan sipakatau yang berarti saling menghormati dan menghargai, dan di masyarakat Ambon dikenal pela gandong yang berarti kerukunan dan persaudaraan sekandung sedarah sejati antar manusia yang hidup di Ambon,” urai Wapres mencontohkan lagi.

Kemudian yang keempat adalah bingkai yuridis, yakni penguatan kerukunan dan pencegahan konflik melalui penguatan regulasi tentang kehidupan beragama secara komprehensif dan terintegrasi, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan hukum di bawahnya. Dan yang tidak kalah pentingnya, sambung Wapres, adalah penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, dengan memprosesnya ke pengadilan. Namun dalam kasus-kasus tertentu persoalan-persoalan hukum ini bisa lebih baik diselesaikan melalui mediasi dan rekonsiliasi. 

“Dalam konteks ini, peran mediasi sangat penting, seperti yang dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) selama ini. Forum ini menjadi media yang sangat efektif untuk membangun kerukunan dan sekaligus menyelesaikan perselisihan, ketegangan, atau konflik berlatarbelakang agama,” ungkapnya.

Menutup sebelum sambutannya, Wapres berharap BPIP ini bisa mengambil peran yang lebih besar dalam rangka mengimplementasikan Pancasila.

“Sebagai orang yang pernah menjadi salah satu anggota Dewan Pengarah BPIP ingin menyampaikan harapan agar BPIP ini bisa mengambil peran yang lebih besar dalam rangka implementasi Pancasila baik di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Sekali lagi saya menyampaikan apresiasi kepeda seluruh jajaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin atas penyelenggaraan simposium ini. Semoga Allah SWT meridai semua ikhtiar kita,” tutup Wapres. (RN, KIP-)